Salomo Sihombing
Ocean Engineering ' 12
Guest
Kamis, 04 Juli 2013
Ayat Sidi
Itu ayat sidi gue yang dalam bahasa inggris, dalam bahasa indonesia-nya : Mazmur 65:5 (5) (65-6) Dengan perbuatan-perbuatan yang dahsyat dan dengan keadilan Engkau menjawab kami, ya Allah yang menyelamatkan kami, Engkau, yang menjadi kepercayaan segala ujung bumi dan pulau-pulau yang jauh-jauh.
Gue gak tau dan gak ngerti kenapa Pendeta Gereja gue mengasih ayat ini, tapi gue yakin ada maksud yang besar dan ajaib yang akan diberikan kepada gue. Semoga ayat ini menjadin dasar gue bersikap dalam hidup terutama dalam Takut akan Tuhan. Ayat ini akan menjadi dasar untuk gue dapat menapaki hidup gue yang berat. Ada kata- kata yang menarik dalam ayat sidi ini "Dengan perbuatan-perbuatan yang dahsyat dan dengan keadilan engkau menjawab kami" kalimat tersebuat istimewa buat gue. Apa istimewanya mo? Istimewanya adalah di kalimat tersebut menjelaskan bahwa Tuhan tidak pernah tidur Tuhan tidak pernah lelah untuk mengatur hidup kita, Tuhan pasti akan menjawab semua doa kita (tentunya doa yang baik) dengan cara yang luar biasa seperti Allah yang mengorbankan Putranya yang Tunggal untuk menebus dosa umat manusia. Disini gua berasa yakin kalau Tuhan pasti akan membuat semua akan Indah pada waktunya. Amin.
Senin, 06 Mei 2013
Tersenyum di Tengah Kekurangan
Sabtu 27 April 2013, Jurusan gue mengadakan social development (semacam kegiatan sosial) di Yayasan Pendidikan Anak Cacat Semolowaru.
Mereka cacat, Kata siapa?
Kita ketemu adek-adek yang luar biasa loh, ditengah kekurangan mereka, mereka masih dapat tersenyum seakan tidak ada apa-apa. Luar biasa bukan?
Lihat deh senyum mereka :
Mereka cacat, Kata siapa?
Lihat deh senyum mereka :
Itu masih beberapa dari senyum manis mereka loh!
Disana kita juga mendapat kesempatan untuk bersosialisasi dengan mereka dengan cara yang berbeda-beda:
Ada yang berbagi cerita sampai pada gombal-gombalan
Ada yang menggambar
Dan ada yang nyanyi loh, ditengah kekurangan mereka juga punya kelebihan :)
Ini mereka, beberapa orang yang kurang beruntung . tetapi
ditengah kekurangan mereka, mereka masih bisa tersenyum. Sebuah pelajaran yang
luar biasa bukan?
Kalau mereka aja masih bisa tersenyu kenapa kita nggak?
Ingat : “Tersenyum adalah tanda awal bahwa kita bersyukur
atas pemberian Tuhan”
Nah, mereka aja bersyukur kenapa kita nggak?
Senin, 11 Maret 2013
Mengabdi Negeri : Dilema yang (tidak selalu) Berujung Tragedi
ini tulisan temen gue yang sangat luar biasa orang nya, namanya Maria Putri Rosari, temen sejurusan gue dia berasal dari . . . (Surabaya, Gresik, dan Jakarta)
Blog: http://olajoann.blogspot.com/
Fb: facebook.com/mariaputri.rosari
Ini Dia Orangnya :
“Setelah lulus nanti, masih adakah idealisme dalam diri kalian? Masih adakah keinginan dan panggilan untuk memberikan suatu pengabdian kepada negeri ini? Paling-paling yang ada dalam pikiran kalian nanti hanyalah karier yang kalian kejar, tempat kerja yang menghasilkan banyak uang, keluarga yang akan kalian bangun. Sudah. Lalu semuanya akan berjalan begitu-begitu saja sampai akhir hidup kalian.”
Satu bulan yang lalu, dalam suatu forum besar dari rangkaian kegiatan pengaderan (kegiatan semacam ospek atau inisiasi di kampus saya), salah seorang senior yang merupakan koordinator konseptor atau lebih dikenal dengan SC (Steering Comittee) mendadak mengucapkan kalimat yang baru saja saya kutip tersebut.
Bicara soal pengaderan, terus terang saja, saya tidak menaruh banyak perhatian di sana. Yang saya lakukan selama ini hanyalah menjalani semuanya secara biasa saja dan terus berharap semua ini akan berlalu sesegera mungkin. Saya cukup gerah dengan banyaknya omelan dan amukan serta tugas yang diberikan senior-senior saya di kampus atas nama kesolidan satu angkatan yang harus dibangun.
Namun hari itu, setelah forum berakhir, serangkaian kalimat yang senior saya lontarkan tadi berubah menjadi teror yang terus memburu pikiran dan hati saya hingga kini saya buat tulisan ini. Suatu tanda tanya yang menghantui pikiran manusia-manusia usia produktif Indonesia tidak terkecuali mahasiswa. Mengabdi? Sudahkah?
Danet dan Habibie, Tucuxi dan N250
Akhir-akhir ini dua nama itu kerap kali muncul dalam pemberitaan nasional baik melalui media cetak atau media elektronik. Danet Suryatama, laki-laki asal Yogyakarta yang berhasil membuat mobil listrik sport, Tucuxi, yang selama beberapa waktu lalu berhasil menuai kekaguman dari khalayak sekaligus membawa angin segar di tengah kebobrokan bangsa ini.
Selama beberapa waktu, karya hebatnya itu terus menerus menjadi sasaran sorot media, membuat nama Danet menjadi harum, membuat tercengang siapa pun yang menyaksikannya secara langsung. Namun, dalam sekejap mata, seluruh upaya dan pengorbanan yang telah ia persembahkan itu terkubur dalam-dalam bersama ringseknya Tucuxi dalam sebuah kecelakaan. Karyanya dibongkar tanpa sepengetahuannya, ide dan kerja kerasnya serta merta dicuri, perjanjian yang telah dibut bersamanya begitu saja dilanggar.
Berita pengakuan tentang kesedihan hati Danet yang saya baca membuat saya menjadi ikutan kesal dan merasa prihatin lantaran sebegitu mudahnya proyek besar itu hancur dan dilupakan. Benar saja, hingar bingar masa kejayaan Tucuxi tersebut hanya bertahan sebentar. Tidak banyak media yang menyorot kembali nasib Danet dan Tucuxi buatannya setelah mobil itu hancur. Tidak banyak pula masyarakat yang menaruh perhatian kembali kepada sesuatu yang dulu amat dibanggakan. Entahlah, apakah banyak dari antara mereka yang merasakan apa yang saya rasakan ini?
Tidak jauh-jauh dari Danet, B. J. Habibie yang kini terus mendapat perhatian publik karena kisah cintanya dengan Ainun diangkat ke layar lebar, pernah bernasib sama. Pesawat N250, proyek besar buah pemikiran dan kerja kerasnya kini hanya bisa dinikmati secara visual saja dalam kondisi berdebu dan kotor bersamaan dengan ditutupnya IPTN kala itu. Video peluncuran perdana pesawat tersebut di Bandara Hussein Sastranegara kini hanya menjadi sepenggal kenangan manis yang sempat terekam atas prestasinya yang harus terhenti. Fakta bahwa Indonesia masih harus mengimpor armada-armada udaranya sampai hari ini padahal dahulu harapan besar telah sempat menjadi kenyataan membuat semuanya terasa mengecewakan.
Kisah Danet. Kisah Habibie. Dua kisah tadi mungkin hanyalah segelintir kecil kisah pilu yang pernah terukir di tanah Indonesia. Jika kita mau membuka mata lebih lebar lagi lalu secara teliti mengamati, ada sangat banyak manusia-manusia potensial Indonesia yang terpaksa menelan sendiri kekecewaan mereka atas hasil jerih payah mereka yang kurang dihargai bahkan terabaikan walaupun senyatanya karya-karya mereka tidaklah kalah dari penemuan-penemuan yang berpengaruh di negara maju lainnya. Secara kasarnya, mereka ditolak di tanah mereka sendiri. Andy F. Noya dalam acaranya, Kick Andy, pernah menghadirkan beberapa dari antara mereka yang sebagian besar memilih untuk menetap dan bekerja di luar negeri karena di sana mereka mengaku jauh lebih dihargai dan dijamin kesejahteraannya.
Mantap atau Meragu?
Cerita-cerita sedih demikian semakin hari semakin tersorot media, membuat publik semakin mengerti bagaimana Indonesia kini. Generasi-generasi produktif kian enggan terjun secara langsung mengambil peran perubahan untuk kemajuan bangsa. Ada memang, tetapi hanya sebagian kecil, amat kecil. Semuanya kian sibuk dengan urusan masing-masing seperti yang terlukis dalam kalimat yang menjadi kutipan di awal tadi. Sebagian besar mengaku malas dan bersikap apatis. Toh nanti akhirnya juga akan sama saja, begitu-begitu saja. Percuma.
Jelas saja, siapa yang tidak ogah-ogahan jika perjuangan dan pengorbanan dalam jangka waktu yang lama hanya bisa ditukar dengan ketidakpastian dan sikap acuh tak acuh. Hal itu sungguh manusiawi. Bahkan ketika seandainya saya berada di posisi mereka, saya juga akan memilih negara lain yang mau memberikan lebih banyak kesempatan dan fasilitas bagi saya untuk bisa mengembangkan penemuan-penemuan saya tersebut. Walaupun pada dasarnya penemuan tadi dibuat secara ikhlas dengan tujuan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik serta memajukan ilmu pengetahuan yang ada. Idealisme dan keyakinan untuk bisa membawa bangsa kepada perubahan yang lebih baik kian tergerogoti realita yang ada.
Dari sudut pandang mahasiswa teknik, saya beranggapan bahwa angan-angan untuk menciptakan teknologi mutakhir di Indonesia hanyalah sekedar angan-angan yang sulit sekali diwujudkan. Jika disuruh memilih mengabdi di negara sendiri atau di luar ketika seandainya nanti saya sudah cukup ilmu dan pengalaman, saya yakin saya akan menjawab, “Ya, pikir-pikir dulu. Lihat kondisi dulu. Lihat mana yang bisa memberikan keuntungan lebih.”
Angin Segar Masih Terus Berhembus
Suatu hari dalam percakapan bersama kedua orangtua saya mengenai kehidupan seputar kampus, Bapak saya tiba-tiba menyeletuk, “Kamu jangan hedon terus, jangan lupa ini masih tingkat satu kuliahmu, tugas utamamu itu belajar.”
Saya lalu menjawab, “Lah apaan, masa setiap saat harus belajar. Gila, jenuh lah!”
Ibu saya gantian berkomentar, “Ya bukan begitu. Ibaratnya seperti ini, kamu dapat beasiswa kuliah di luar negeri, ya tugas yang kamu bawa dari negaramu itu untuk belajar. Bukan berarti harus belajar setiap saat tapi fokusmu di sana untuk belajar, setelah itu kamu pulang lagi ke negara asalmu, bukannya malah cari kerja cari uang di negara orang terus lupa sama negara sendiri.”
Entah mengapa, komentar Ibu saya yang sebenarnya di luar konteks percakapan awal tadi mendadak membuat saya merasa ‘jleb’. Seakan-akan komentar ibu saya ini menjadi suatu pernyataan pendukung dari pernyataan sebelumnya yang sudah diucapkan senior saya kala itu.
Dalam waktu yang berdekatan, jawaban atas permasalahan mengenai dilema mengabdi kepada negeri ini kembali bermunculan. Dalam sekumpulan cerita yang terangkum dalam buku berjudul ‘Orang Miskin (Boleh) Sukses Sekolah’ karya M. Sanusi ada satu kisah yang amat berkesan mengenai sebuah pengabdian yang berbuah manis.
Kisah tersebut milik adalah Yohanes Surya, si anak miskin jenius pecinta fisika yang berkesempatan meraih beasiswa besar dan berhasil meraih predikat summa cum laude dalam kelulusannya dari pendidikan program pascasarjana dan doktor di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Atas keberhasilannya tersebut, ia langsung mendapatkan green card, surat izin bekerja di Amerika Serikat dengan jaminan masa depan karier serta penghasilan besar.
Bicara soal sifat manusiawi, kita pasti sudah menduga bahwa peluang besar yang ia dapatkan melalui green cardtadi mungkin akan langsung ia manfaatkan sebagai langkah awal meraih kesuksesan dan keuntungan sebesar-besarnya. Hidup nyaman di negara maju tanpa perlu bersusah payah karena segalanya sudah terjamin. Namun, keputusan yang akhirnya ia ambil malah sebaliknya, ia memilih pulang lagi ke Indonesia untuk mengembangkan dan membagi ilmunya di negaranya sendiri.
Langkah yang ia ambil selanjutnya adalah mendirikan suatu organisasi bersama TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) suatu wadah pendampingan para pelajar Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam kompetisi Olimpiade Fisika tingkat Internasional. Tidak tanggung-tanggung, jerih payahnya itu menghasilkan prestasi besar, dimulai dari satu medali perunggu yang diperoleh dalam Olimpiade Fisika di Amerika Serikat. Dilanjutkan dengan perolehan tiga medali emas, satu medali perak, dan satu medali perunggu pada Olimpiade Fisika Internasional XXXIII di Bali tahun 2002. Kemudian enam medali emas dan dua honorable mention serta gelar juara umum pada Olimpiade Fisika Asia IV di Bangkok, 2003. Dan yang paling mengharumkan adalah gelar absolute winner yang didapat anak didiknya pada Olimpiade Fisika Internasional XXXVII di Singapura tahun 2006.
Yohanes Surya kini telah menjelma menjadi ilmuwan besar sekaligus fisikawan pendidik. Ia terus bepergian ke tiap-tiap kota di Indonesia untuk melatih para guru fisika serta mencari benih-benih baru untuk bisa dikembangkan lebih lanjut melalui metode Fisika Gasing atau singkatan dari Gampang, Asyik, dan Menyenangkan. Beruntung sekali saya pernah berkesempatan bertemu dan belajar langsung dengannya ketika dahulu saya duduk di kelas II SMP.
Didikan dan ajaran yang diberikan Yohanes Surya tersebut telah menghasilkan karya-karya luar biasa serta berhasil mengantarkan banyak anak-anak Indonesia menjadi unggul dalam persaingan di kancah internasional. Terbukti dari banyaknya medali yang didapat tadi serta semakin banyaknya tawaran beasiswa bagi alumni-alumni TOFI untuk bisa berkuliah di perguruan-perguruan tinggi ternama dunia.
Keputusan Yohanes Surya secara rendah hati untuk kembali ke negaranya tanpa ragu dan mengabdi dengan sepenuh hati tersebut membawa anugerah tersendiri untuk negara yang terus menerus mengalami krisis seperti ini. Bahkan krisis kepercayaan untuk bisa membawa bangsa kepada perubahan yang lebih baik. Kisah Yohanes Surya membawa banyak inspirasi untuk kita semua bahwa sesungguhnya akan ada angin segar yang terus berhembus untuk negeri ini seandainya kita dengan rendah hati mau kembali mengabdi untuk negara ini.
Danet dan Habibie mungkin saja hanyalah segelintir orang yang belum bernasib baik di awalnya. Mungkin saja mereka belum berada di waktu dan kondisi yang tepat. Sehingga mau tidak mau, tragedi dan kekecewaanlah yang mereka dapatkan. Namun, kalau kita mau menyadarinya kembali, kehadiran Danet dan Habibie, walaupun secara langsung karya jerih payah mereka terabaikan bahkan hancur, mereka telah membawa terang dan inspirasi untuk masyarakat Indonesia kini. Benar adanya bahwa dunia ini memang kejam, pemberitaan media mengenai euforia mereka mungkin hanya mampu bertahan sesaat saja, tetapi sekejam-kejamnya dunia, dunia tidaklah buta. Masih ada pasang-pasang mata yang mampu menangkap dan menilai usaha keras mereka lalu menjadikannya titik tolak untuk berkarya lebih lanjut.
Terbukti, beberapa saat setelah mobil Tucuxi diluncurkan, program-program dan aktivitas riset mengenai mobil listrik kembali giat dijalankan, salah satunya mobil listrik karya beberapa mahasiswa di kampus saya, ITS, yang baru-baru ini diresmikan. Pesawat yang diciptakan Habibie memang sudah mangkrak dan tersingkirkan, tetapi coba tengoklah beberapa siswa SMK yang telah berhasil menciptakan pesawat terbang ‘Jabiru’.
Mengabdi itu Mulia
Terjawab sudah sentilan-sentilan yang berawal dari serangkaian kalimat yang senior saya utarakan mengenai pengabdian. Semoga suatu hari nanti, setiap orang di Indonesia, dengan bidang keahlian mereka masing-masing dapat berkontribusi lebih untuk tanah airnya. Semoga lahir penemuan-penemuan besar dan mutakhir dari tangan-tangan negeri ini sendiri yang tidak kalah dari penemuan-penemuan negara-negara maju. Semoga usaha keras yang panjang dari setiap pemikir dan penggagas inovasi untuk kemajuan bangsa ini lebih dapat dihargai dan membuahkan hasil yang manis. Semoga segala aspek ilmu pengetahuan yang ada dapat membangun suatu sinergi untuk bisa menghasilkan kehidupan yang lebih layak dan lebih sejahtera untuk Indonesia. Terakhir, semoga idealisme ini tidak terus tergerogoti realita seiring berjalannya waktu.
Satu bulan yang lalu, dalam suatu forum besar dari rangkaian kegiatan pengaderan (kegiatan semacam ospek atau inisiasi di kampus saya), salah seorang senior yang merupakan koordinator konseptor atau lebih dikenal dengan SC (Steering Comittee) mendadak mengucapkan kalimat yang baru saja saya kutip tersebut.
Bicara soal pengaderan, terus terang saja, saya tidak menaruh banyak perhatian di sana. Yang saya lakukan selama ini hanyalah menjalani semuanya secara biasa saja dan terus berharap semua ini akan berlalu sesegera mungkin. Saya cukup gerah dengan banyaknya omelan dan amukan serta tugas yang diberikan senior-senior saya di kampus atas nama kesolidan satu angkatan yang harus dibangun.
Namun hari itu, setelah forum berakhir, serangkaian kalimat yang senior saya lontarkan tadi berubah menjadi teror yang terus memburu pikiran dan hati saya hingga kini saya buat tulisan ini. Suatu tanda tanya yang menghantui pikiran manusia-manusia usia produktif Indonesia tidak terkecuali mahasiswa. Mengabdi? Sudahkah?
Danet dan Habibie, Tucuxi dan N250
Akhir-akhir ini dua nama itu kerap kali muncul dalam pemberitaan nasional baik melalui media cetak atau media elektronik. Danet Suryatama, laki-laki asal Yogyakarta yang berhasil membuat mobil listrik sport, Tucuxi, yang selama beberapa waktu lalu berhasil menuai kekaguman dari khalayak sekaligus membawa angin segar di tengah kebobrokan bangsa ini.
Selama beberapa waktu, karya hebatnya itu terus menerus menjadi sasaran sorot media, membuat nama Danet menjadi harum, membuat tercengang siapa pun yang menyaksikannya secara langsung. Namun, dalam sekejap mata, seluruh upaya dan pengorbanan yang telah ia persembahkan itu terkubur dalam-dalam bersama ringseknya Tucuxi dalam sebuah kecelakaan. Karyanya dibongkar tanpa sepengetahuannya, ide dan kerja kerasnya serta merta dicuri, perjanjian yang telah dibut bersamanya begitu saja dilanggar.
Berita pengakuan tentang kesedihan hati Danet yang saya baca membuat saya menjadi ikutan kesal dan merasa prihatin lantaran sebegitu mudahnya proyek besar itu hancur dan dilupakan. Benar saja, hingar bingar masa kejayaan Tucuxi tersebut hanya bertahan sebentar. Tidak banyak media yang menyorot kembali nasib Danet dan Tucuxi buatannya setelah mobil itu hancur. Tidak banyak pula masyarakat yang menaruh perhatian kembali kepada sesuatu yang dulu amat dibanggakan. Entahlah, apakah banyak dari antara mereka yang merasakan apa yang saya rasakan ini?
Tidak jauh-jauh dari Danet, B. J. Habibie yang kini terus mendapat perhatian publik karena kisah cintanya dengan Ainun diangkat ke layar lebar, pernah bernasib sama. Pesawat N250, proyek besar buah pemikiran dan kerja kerasnya kini hanya bisa dinikmati secara visual saja dalam kondisi berdebu dan kotor bersamaan dengan ditutupnya IPTN kala itu. Video peluncuran perdana pesawat tersebut di Bandara Hussein Sastranegara kini hanya menjadi sepenggal kenangan manis yang sempat terekam atas prestasinya yang harus terhenti. Fakta bahwa Indonesia masih harus mengimpor armada-armada udaranya sampai hari ini padahal dahulu harapan besar telah sempat menjadi kenyataan membuat semuanya terasa mengecewakan.
Kisah Danet. Kisah Habibie. Dua kisah tadi mungkin hanyalah segelintir kecil kisah pilu yang pernah terukir di tanah Indonesia. Jika kita mau membuka mata lebih lebar lagi lalu secara teliti mengamati, ada sangat banyak manusia-manusia potensial Indonesia yang terpaksa menelan sendiri kekecewaan mereka atas hasil jerih payah mereka yang kurang dihargai bahkan terabaikan walaupun senyatanya karya-karya mereka tidaklah kalah dari penemuan-penemuan yang berpengaruh di negara maju lainnya. Secara kasarnya, mereka ditolak di tanah mereka sendiri. Andy F. Noya dalam acaranya, Kick Andy, pernah menghadirkan beberapa dari antara mereka yang sebagian besar memilih untuk menetap dan bekerja di luar negeri karena di sana mereka mengaku jauh lebih dihargai dan dijamin kesejahteraannya.
Mantap atau Meragu?
Cerita-cerita sedih demikian semakin hari semakin tersorot media, membuat publik semakin mengerti bagaimana Indonesia kini. Generasi-generasi produktif kian enggan terjun secara langsung mengambil peran perubahan untuk kemajuan bangsa. Ada memang, tetapi hanya sebagian kecil, amat kecil. Semuanya kian sibuk dengan urusan masing-masing seperti yang terlukis dalam kalimat yang menjadi kutipan di awal tadi. Sebagian besar mengaku malas dan bersikap apatis. Toh nanti akhirnya juga akan sama saja, begitu-begitu saja. Percuma.
Jelas saja, siapa yang tidak ogah-ogahan jika perjuangan dan pengorbanan dalam jangka waktu yang lama hanya bisa ditukar dengan ketidakpastian dan sikap acuh tak acuh. Hal itu sungguh manusiawi. Bahkan ketika seandainya saya berada di posisi mereka, saya juga akan memilih negara lain yang mau memberikan lebih banyak kesempatan dan fasilitas bagi saya untuk bisa mengembangkan penemuan-penemuan saya tersebut. Walaupun pada dasarnya penemuan tadi dibuat secara ikhlas dengan tujuan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik serta memajukan ilmu pengetahuan yang ada. Idealisme dan keyakinan untuk bisa membawa bangsa kepada perubahan yang lebih baik kian tergerogoti realita yang ada.
Dari sudut pandang mahasiswa teknik, saya beranggapan bahwa angan-angan untuk menciptakan teknologi mutakhir di Indonesia hanyalah sekedar angan-angan yang sulit sekali diwujudkan. Jika disuruh memilih mengabdi di negara sendiri atau di luar ketika seandainya nanti saya sudah cukup ilmu dan pengalaman, saya yakin saya akan menjawab, “Ya, pikir-pikir dulu. Lihat kondisi dulu. Lihat mana yang bisa memberikan keuntungan lebih.”
Angin Segar Masih Terus Berhembus
Suatu hari dalam percakapan bersama kedua orangtua saya mengenai kehidupan seputar kampus, Bapak saya tiba-tiba menyeletuk, “Kamu jangan hedon terus, jangan lupa ini masih tingkat satu kuliahmu, tugas utamamu itu belajar.”
Saya lalu menjawab, “Lah apaan, masa setiap saat harus belajar. Gila, jenuh lah!”
Ibu saya gantian berkomentar, “Ya bukan begitu. Ibaratnya seperti ini, kamu dapat beasiswa kuliah di luar negeri, ya tugas yang kamu bawa dari negaramu itu untuk belajar. Bukan berarti harus belajar setiap saat tapi fokusmu di sana untuk belajar, setelah itu kamu pulang lagi ke negara asalmu, bukannya malah cari kerja cari uang di negara orang terus lupa sama negara sendiri.”
Entah mengapa, komentar Ibu saya yang sebenarnya di luar konteks percakapan awal tadi mendadak membuat saya merasa ‘jleb’. Seakan-akan komentar ibu saya ini menjadi suatu pernyataan pendukung dari pernyataan sebelumnya yang sudah diucapkan senior saya kala itu.
Dalam waktu yang berdekatan, jawaban atas permasalahan mengenai dilema mengabdi kepada negeri ini kembali bermunculan. Dalam sekumpulan cerita yang terangkum dalam buku berjudul ‘Orang Miskin (Boleh) Sukses Sekolah’ karya M. Sanusi ada satu kisah yang amat berkesan mengenai sebuah pengabdian yang berbuah manis.
Kisah tersebut milik adalah Yohanes Surya, si anak miskin jenius pecinta fisika yang berkesempatan meraih beasiswa besar dan berhasil meraih predikat summa cum laude dalam kelulusannya dari pendidikan program pascasarjana dan doktor di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Atas keberhasilannya tersebut, ia langsung mendapatkan green card, surat izin bekerja di Amerika Serikat dengan jaminan masa depan karier serta penghasilan besar.
Bicara soal sifat manusiawi, kita pasti sudah menduga bahwa peluang besar yang ia dapatkan melalui green cardtadi mungkin akan langsung ia manfaatkan sebagai langkah awal meraih kesuksesan dan keuntungan sebesar-besarnya. Hidup nyaman di negara maju tanpa perlu bersusah payah karena segalanya sudah terjamin. Namun, keputusan yang akhirnya ia ambil malah sebaliknya, ia memilih pulang lagi ke Indonesia untuk mengembangkan dan membagi ilmunya di negaranya sendiri.
Langkah yang ia ambil selanjutnya adalah mendirikan suatu organisasi bersama TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) suatu wadah pendampingan para pelajar Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam kompetisi Olimpiade Fisika tingkat Internasional. Tidak tanggung-tanggung, jerih payahnya itu menghasilkan prestasi besar, dimulai dari satu medali perunggu yang diperoleh dalam Olimpiade Fisika di Amerika Serikat. Dilanjutkan dengan perolehan tiga medali emas, satu medali perak, dan satu medali perunggu pada Olimpiade Fisika Internasional XXXIII di Bali tahun 2002. Kemudian enam medali emas dan dua honorable mention serta gelar juara umum pada Olimpiade Fisika Asia IV di Bangkok, 2003. Dan yang paling mengharumkan adalah gelar absolute winner yang didapat anak didiknya pada Olimpiade Fisika Internasional XXXVII di Singapura tahun 2006.
Yohanes Surya kini telah menjelma menjadi ilmuwan besar sekaligus fisikawan pendidik. Ia terus bepergian ke tiap-tiap kota di Indonesia untuk melatih para guru fisika serta mencari benih-benih baru untuk bisa dikembangkan lebih lanjut melalui metode Fisika Gasing atau singkatan dari Gampang, Asyik, dan Menyenangkan. Beruntung sekali saya pernah berkesempatan bertemu dan belajar langsung dengannya ketika dahulu saya duduk di kelas II SMP.
Didikan dan ajaran yang diberikan Yohanes Surya tersebut telah menghasilkan karya-karya luar biasa serta berhasil mengantarkan banyak anak-anak Indonesia menjadi unggul dalam persaingan di kancah internasional. Terbukti dari banyaknya medali yang didapat tadi serta semakin banyaknya tawaran beasiswa bagi alumni-alumni TOFI untuk bisa berkuliah di perguruan-perguruan tinggi ternama dunia.
Keputusan Yohanes Surya secara rendah hati untuk kembali ke negaranya tanpa ragu dan mengabdi dengan sepenuh hati tersebut membawa anugerah tersendiri untuk negara yang terus menerus mengalami krisis seperti ini. Bahkan krisis kepercayaan untuk bisa membawa bangsa kepada perubahan yang lebih baik. Kisah Yohanes Surya membawa banyak inspirasi untuk kita semua bahwa sesungguhnya akan ada angin segar yang terus berhembus untuk negeri ini seandainya kita dengan rendah hati mau kembali mengabdi untuk negara ini.
Danet dan Habibie mungkin saja hanyalah segelintir orang yang belum bernasib baik di awalnya. Mungkin saja mereka belum berada di waktu dan kondisi yang tepat. Sehingga mau tidak mau, tragedi dan kekecewaanlah yang mereka dapatkan. Namun, kalau kita mau menyadarinya kembali, kehadiran Danet dan Habibie, walaupun secara langsung karya jerih payah mereka terabaikan bahkan hancur, mereka telah membawa terang dan inspirasi untuk masyarakat Indonesia kini. Benar adanya bahwa dunia ini memang kejam, pemberitaan media mengenai euforia mereka mungkin hanya mampu bertahan sesaat saja, tetapi sekejam-kejamnya dunia, dunia tidaklah buta. Masih ada pasang-pasang mata yang mampu menangkap dan menilai usaha keras mereka lalu menjadikannya titik tolak untuk berkarya lebih lanjut.
Terbukti, beberapa saat setelah mobil Tucuxi diluncurkan, program-program dan aktivitas riset mengenai mobil listrik kembali giat dijalankan, salah satunya mobil listrik karya beberapa mahasiswa di kampus saya, ITS, yang baru-baru ini diresmikan. Pesawat yang diciptakan Habibie memang sudah mangkrak dan tersingkirkan, tetapi coba tengoklah beberapa siswa SMK yang telah berhasil menciptakan pesawat terbang ‘Jabiru’.
Mengabdi itu Mulia
Terjawab sudah sentilan-sentilan yang berawal dari serangkaian kalimat yang senior saya utarakan mengenai pengabdian. Semoga suatu hari nanti, setiap orang di Indonesia, dengan bidang keahlian mereka masing-masing dapat berkontribusi lebih untuk tanah airnya. Semoga lahir penemuan-penemuan besar dan mutakhir dari tangan-tangan negeri ini sendiri yang tidak kalah dari penemuan-penemuan negara-negara maju. Semoga usaha keras yang panjang dari setiap pemikir dan penggagas inovasi untuk kemajuan bangsa ini lebih dapat dihargai dan membuahkan hasil yang manis. Semoga segala aspek ilmu pengetahuan yang ada dapat membangun suatu sinergi untuk bisa menghasilkan kehidupan yang lebih layak dan lebih sejahtera untuk Indonesia. Terakhir, semoga idealisme ini tidak terus tergerogoti realita seiring berjalannya waktu.
Februari 2013 (mpr)
Minggu, 10 Maret 2013
Penting nya Bersyukur?
Bersyukur adalah satu
kata sederhana yang banyak memiliki arti dalam hidup. Satu kata yang dapat
merubah hidupmu berasa cukup dan tidak
kurang, tidak pernah menyesali semua yang telah terjadi. Apapun yang terjadi di hidupmu syukuri aja karena Tuhan
pasti punya rancangan yang baik buat kamu. Tuhan itu luar biasa dalam rencana
Nya dan pasti semua itu yang terbaik dalam susah maupun senang. Setiap masalah
yang kita lalui dalam hidup punya maksud dan tujuan nya sendiri, masalah
tersebut akan terasa berat apa bila kita lalui dengan keluh kesah yang terus
menerus keluar dari mulut dan hati, tapi masalah tersebut akan terasa ringan
apa bila kita lalui dengan bersyukur melalui ucapan syukur kepada Tuhan. Dengan
begitu kita akan merasa hidup kita itu luar biasa dan sangat berharga. Ayo mulai
sekarang kita lalui masalah kita dengan bersyukur, karena kita punya Tuhan yang
besar yang melebihi besarnya masalah yang kita hadapi. Ini menurut saya tentang arti kata
bersyukur dan hubungan nya dengan
kehidupan sebagai umat yang percaya dengan Tuhan. Semoga Bermanfaat.
"Hey masalah aku punya Tuhan yang Maha Besar"
Jumat, 08 Maret 2013
Salomo Sihombing: Broken Home itu . . .
Salomo Sihombing: Broken Home itu . . .: Broken home? bukan suatu alasan seseorang untuk menjadi nakal atau liar justru dengan adanya broken home itu seseorang dapat meraih kesuk...
Broken Home itu . . .
Broken home? bukan
suatu alasan seseorang untuk menjadi nakal atau liar justru dengan adanya
broken home itu seseorang dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Tidak ada
alasan orang untuk merokok dikarenakan broken home, itu hanya alasan klasik dan
hanya orang bodoh yang menggunakan alasan itu. Tindakan bodoh disaat kita
memilih untuk nakal, merokok, bahkan menggunakan obat- obat terlarang. Memang keadaan tidak harmonis di dalam
keluarga dapat merubah sifat kita, dan gue juga ngerasai itu semua tetapi tetap
itu tidak bisa dijadikan alasan untuk kita menjadi pribadi yang buruk. Justru
dengan adanya keadaan ini kita dapat terus belajar untuk menjadi pribadi yang
selalu baik kedepan nya. Seperti pengalaman gue, gue adalah anak broken home
bokap nyokap gue gak cerai tapi sepanjang hidup gue, gue gak pernah lihat
mereka harmonis, semua itu udah gue laluin selama 18 tahun. Memang berat
awalnya tapi setelah gue beranjak remaja gue ngerti kenapa semua ini ada di
kehidupan gue, gue selalu berdoa bertanya kepada Tuhan , Kenapa ini ada di
hidup gue? Kenapa gak ke lain orang? Kenapa harus gue? . akhirnya gue sadar
ternyata emang ini yang terbaik buat gue, walaupun dimata kita sebagai manusia “mana
ada baiknya” . Banyak orang yang mengangkat jempolnya buat gue karena gue gak
pernah terpengaruh hal yang negatif, dan sekarang gue dikasih kesempatan sama
Tuhan untuk dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi negri. Ternyata dibalik
semua kejadian yang gue alamin Tuhan masih punya maksud yang baik buat gue, dan
Tuhan mau gue selalu ada di jalan-Nya . Tuhan memberi gue pelajaran yang luar
biasa melalui caranya, Tuhan mau gue jadi anak yang kuat dan tidak goyah
sekalipun. Dari pengalaman gue, gue cuman mau bilang broken home tidak selalu
berdampak negatif. Broken Home itu akan berdampak positif kalau kita juga
menanggapinya dengan hal yang postif juga. Yang pasti kita harus selalu rajin ibadah dan berdoa kepada Tuhan, dan kita harus
percaya kalau Tuhan punya rencana yang besar dibalik ini semua. Ini pengalaman
dan cerita gue, semoga bermanfaat.
Opini temen-temen gue tentang broken home:
Broken home itu di saat rusaknya komunikasi antara anggota
keluarga, yang harusnya saling mengasihi satu sama lain di dalam kasih Tuhan –
Dedy Ompu Sunggu
Broken home itu, keadaan dirumah yang itu lebih mentingin
egoisnya mereka sendiri - Keke Michelle
Awuy
Broken home itu keadaan dimana anak diombang-ombang gak dapet hak kasih sayang dari kedua orang tuanya dan akan
berdampak terhadap psikis anak tersebut – Safira Dwi Anggraeni
Kamis, 04 Oktober 2012
Social Media
Fb:
Salomo Sihombing
http://www.facebook.com/salomo.sihombing
Salomo Sihombing II
http://www.facebook.com/salomo.sihombingii
Twitter :
Follow @ssalomo
Salomo Sihombing
http://www.facebook.com/salomo.sihombing
Salomo Sihombing II
http://www.facebook.com/salomo.sihombingii
Twitter :
Follow @ssalomo
Langganan:
Postingan (Atom)